h1

Gerakan Wakaf al-Qur’an

Agustus 19, 2010

Hanya dengan minimal 1 mushaf al-Quran atau dengan uang Rp 20.000,- saja anda sudah dapat berpatisipasi dalam program ini.

Mushaf dan dana wakaf dapat anda sampaikan ke kantor LAZIS Masjid Syuhada Yogyakarta, Jl. I Dewa Nyoman Oka no.28 Kotabaru Yogyakarta 55224.

Distribusi Wakaf al-Qur’an bisa sesuai permintaan Anda atau akan kami salurkan kepada wilayah-wilayah binaan kami. Selain itu kami juga bekerjasama dengan para Mahasiswa yang sedang Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk menyalurkan wakaf al-Qur’an ini ke masyarakat di lokasi KKN mereka. Distribusi wilayah Gerakan Wakaf al-Qur’an ini meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia.

h1

Fiqih Wakaf

Februari 4, 2008

PERSYARATAN UMUM UNTUK PENDAYAGUNAAN HARTA WAKAF

Karena aktivitas pendayagunan harta, sebagaimana biasanya, akan menemui dua hal, keuntungan atau kerugian; dan mayoritas kegiatan pendayagunaan harta, baik yang dilakukan oleh Negara ataupun badan usaha milik Negara, jika tidak sampai rugi berat maka keadaannya tidak seperti yang diharapkan dan tidak pula mencapai keadaan istimewa; dan karena harta wakaf adalah termasuk harta ummat yang memiliki fungsi social umum; harta wakaf memiliki sifat-sifat khusus yang tidak sama dengan harta manusia pada umumnya, maka kami memandang bahwa pandangan para fuqaha (ulama ahli fiqih) yang mulia, seluruhnya mengatakan tidak bolehnya mem-posting harta wakaf dalam program pendayagunaan dalam sektor usaha jika hasilnya kecil atau tidak sebanding dengan nilai harta wakaf itu sendiri.

Oleh karena itu, seluruh fuqaha mensyaratkan kegiatan pendayagunaan harta wakaf dengan syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Memilih jenis usaha yang paling aman dan tingkat resikonya paling kecil, mencari yang ada system penjaminannya secara syariah. Kami sudah kemukakan bahwa Majma Al-Fiqhiy Al-Islamy internasional membolehkan adanya penjaminan dari pihak ketiga terhadap saham-saham sektor bisnis. Dari sini, maka pengelola wakaf atau nadhir harus mencari pihak-pihak seperti ini sebagai penjamin sebaik mungkin. Jika tidak ada pihak penjamin, maka mengusahakan kepada pemerintah agar bertindak sebagai penjaminnya.
  2. Mempercayakan kepada disiplin ilmu kontemporer dan metode-metode atau teknik-teknik terbaru serta berbagai hasil penelitian dan telaah para ahli di bidangnya secara matang, agar dikelola oleh orang-orang yang ikhlas, kredibel, dan professional dalam bidang usaha atau bisnis.
  3. Melalui planning atau perencanaan, antisipasi, supervisi, dan kontrol atau audit internal terhadap kegiatan bisnis tersebut.
  4. Memperhatikan Fiqh Aulawiyat (fiqh tentang apa yang terpenting dan penting serta apa yang mesti didahulukan) dan fiqh tentang tingkatan-tingkatan resiko dalam kegiatan bisnis, serta fiqh tentang bagaimana bermuamalah/bekerja sama dengan perbankan dan perusahaan bisnis, dimana pengelola wakaf tidak boleh bekerja sama kecuali dengan perbankan islami dan perusahaan bisnis yang memenuhi persyaratan keamanan, sekuritas keuangan (liquid) dan penjaminan. Dari titik ini, pengelola wakaf wajib untuk mengarahkan harta wakaf, jika ingin didayagunakan, dalam kegiatan bisnis yang tetap lebih aman dan tingkat resiko terkecil, yaitu bisnis dalam bidang properti.

KRITERIA PENGELOLA WAKAF DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGEMBANGAN WAKAF

Yang dimaksud di sini adalah perusahaan atau lembaga harus memiliki aspek legalitas hukum, independent, tidak memiliki ketergantungan dengan pemiliknya atau serikatnya; adalah satu-satunya pihak yang memiliki hak dan kewajiban terhadap harta wakaf tersebut; dan yang memiliki tanggung jawab secara terbatas hanya kepada harta/modal tersebut semata. (Lihat: Dr. Al-Sanhuriy, Al-Wasith 5/288, Dr. Abu Zaid Ridhwan, Al-Syarikat Al-Tijariyah, hal 110, Dr. Shalih Al-Marzuqiy, Al-Syarikat Al-Musahamah fii Al-Nidham Al-Suudiy, Cet. Jami’ah Ummul Qura, hal 191).

Persyaratan-persyaratan ini tidak pernah tertera dalam hukum positif Negara kecuali pada abad-abad terakhir ini saja, padahal para fuqaha Islam sudah menetapkan kaidah-kaidah pengelolaan harta wakaf tersebut puluhan abad yang silam, dimana pandangan fiqh Islam telah memberikan pandangannya tentang pihak-pihak yang mengelola wakaf, secara khusus. Fiqh membedakan antara kriteria alamiah dan kriteria professional semisal nadhir wakaf atau yang mengetuainya, dan konsekuensi dari semua hal itu, atas sesungguhnya wakaf harus selalu dimonitor oleh lembaga independent, baik independent dari pengaruh pewakaf (wakif) maupun pengaruh nadhirnya. Lembaga ini bertugas memonitor harta wakaf dan seluruh konsekuensinya, baik hak maupun kewajiban. Sejumlah fuqaha, baik dari madzhab Syafiiyah maupun Hanabilah menyatakan bolehnya memindahkan kepemilikan kepada pihak pengguna wakaf semisal fakir-miskin, ulama, sekolah, dan masjid. (Al-Raudhah, Imam Nawawi, 5/342, Al-Mughni, Imam Ibnu Qudamah 5/640,641).

Para fuqaha Hanafiyah dan Syafiiyah juga membolehkan pihak penilai wakaf untuk mengajukan hutang atas nama harta wakaf demi mencapai mashlahat, dengan seizin dari qadhi hakim, kemudian melunasinya dengan hasil pendayagunaanya. Ini juga menjadi dalil atas sesungguhnya wakaf memiliki sifat tanggung jawab harta yang bisa dilakukan hutang-piutang demi harta wakaf itu, kemudian pelunasannya diambil dari hasil pendayagunaannya. (Fatawa Qadhi Khan bi Hamisy Al-Fatawa Al-Hindiyah 3/298, Durar Al-Mukhtar ma’a Hasyiyah Ibnu Abidin 4/439, Al-Asybah wa Al-Nadhair li Ibn Najim, hal 194, Tuhfah Al-Muhtaj 6/289).

Imam Ibnu Najim berkata: Pihak penilai wakaf bisa menyewakannya, kemudian menyudahinya, dan penilai wakaf lainnya bisa meneruskannya.” Dan ini menjadi dalil atas sesungguhnya harta wakaf, dilihat dari sisi dzatnya, bisa menerima sewa, artinya ia bisa disewakan, dan di sana ada banyak nash yang menunjukkan adanya dampak dari kriteria-kriteria professional tentang pengelolaan dan pendayagunaan harta wakaf dalam peraturan wakaf modern. (Al-Bahr Al-Raiq 5/259, Mabda’ Al-Ridha fii Al-Uqud, Dirasah Muqaranah, Cet. Al-Basyair Al-Islamiyah, Beirut, 1985, 1/353)

Saya tidak ingin berpanjang-lebar membahas hal ini secara detail, akan tetapi maksud saya mengemukakan hal ini adalah bahwa model pengelolaan harta wakaf ini, secara fiqh, dengan pengelolaan diserahkan kepada institusi independent telah menciptakan perkembangan terhadap harta wakaf itu sendiri pada abad-abad pertama Islam, dan telah memberikan sumbangan yang nyata kepa.da perkembangan peradaban ummat Islam ini, mampu menjaga dan memelihara sebagian besar kebutuhan asasi masyarakat Islam sebagaimana yang diinginkan oleh ummat dalam sisi pengembangan, semisal pendirian dan pengelolaan sekolah-sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit-rumah sakit. Dan sebagian lembaga pengelola wakaf dan waris khusus memanfaatkannya untuk berbagai kegiatan amal dan layanan karitas (charity services).

Maka, model pengelolaan ini, secara fiqh, memiliki nilai lebih dalam 2 (dua) aktivitas: pengelolaan harta wakaf dan layanan sosial, dan ini lebih unggul jika dibandingkan dengan pengelolaan wakaf secara pribadi. Yang paling mencolok adalah bahwa pengelolaan wakaf secara institusi, akan lebih kontinyu daripada jika dikelola secara pribadi; lebih optimal dan lebih berkembang, lebih jelas dalam tahapan pencapaian tujuan, lebih mudah untuk diaudit dan evaluasi, baik internal maupun eksternal, serta bisa di-reform dalam sisi manajerialnya demi efektivitas audit internal. Kesemuanya ini akan bermuara pada akselerasi dan perkembangan institusi-institusi pengelolaan wakaf. (Dr. Ma’bad Al-Jarikiy, Abhats fii Al-Waqf, Nadwah Al-Waqf Al-Khairiy li Haiah Abu Dhabi Al-Khairiyah, hal 120).

Oleh karena itu, mayoritas institusi pengelola wakaf selalu ada di bawah pengawasan Daulah Islamiyah (Negara Islam), khususnya di bahwa qadhi (hakim), apalagi kalau melihat kepada masa-masa penerlantaran bidang ini karena lemahnya ummat Islam dalam berbagai sisi kehidupannya.

Dan yang menunjukkan urgensi wakaf adalah perhatian para musuh Islam, khususnya para penjajah, dalam memberangus berbagai institusi wakaf, menjelek-jelekan wakaf dan orang-orang yang mengelola wakaf, kemudian memberikan nama baru yang jelek dan mengganti manajemen pengelolaannya. Dan menurut saya, hal ini tidak perlu bukti lagi. Karena ungkapan mereka (para penjajah) adalah bahwa “wakaf jika ditinggalkan tidak dengan maksud untuk menerlantarkannya maka ia akan berkembang pesat, dan akan bisa memberikan sumbangan yang nyata, lebih besar daripada apa yang sudah tercatat dalam sejarah Islam.”

Oleh karena itu, ketika berbicara tentang wakaf, kita harus mengarahkan segala kemampuan dan potensi kita untuk mengembangkan institusi pengelola wakaf dalam segala sisi kehidupan. Dan dunia Barat telah mengambil manfaat yang besar dalam model wakaf Islam secara kelembagaan, dalam berbagai sisi kehidupan mereka, khususnya aspek pendidikan dan penelitian. Maka, mayoritas lembaga ilmiah dan pendidikan tinggi mereka memiliki harta wakaf untuk menjamin kontinyuitas lembaga tersebut dan karena besarnya dukungan pemerintah terhadap hal ini.***

Sumber:
Istitsmar Al-Waqf wa Thuruquhu Al-Qadimah wa Al-Haditsah, Prof. Dr. Ali Muhyiiddin Al-Qarrah Daghy, Maktabah Misykah Al-Islamiyah (Guru Besar Fak. Syariah- Qatar University, Anggota Majami’ Fiqhiyyah, Anggota Majelis Eropa untuk Fatwa dan Penelitian Islam).

Penerjemah:
Abu Valech Yanhouth

h1

Konferensi Zakat Asia Tenggara II: Indonesia Harapkan Posisi Sekjen Pertama

Februari 3, 2008

Pelaksanaan Konferensi Zakat Asia Tenggara (KZAT) II yang berlangsung di Padang, Sumatera Barat (Sumbar) mulai Selasa esok, diharapkan dapat membentuk komposisi kepengurusan Dewan Zakat Asia Tengggara (DZAT). Indonesia sebagai negara pengagas, berharap dapat mengambil posisi sebagai sekretaris jenderal pertama.

Panitia Pengarah KZAT II, M Arifin Purwakananta menyatakan, konferensi ini akan membahas dua isu penting, yakni mengenai aspek manajemen dalam pengelolaan zakat dan pembentukan kesekretariatan, karena sejak dibentuk tahun lalu, lembaga ini belum mempunyai struktur organisasi baku.

“Salah satu agenda penting konferensi adalah membakukan kesekretariatan, termasuk lokasi kesekretariatan dan penunjukan sekretaris jenderal pertama. Indonesia selaku salah satu negara penggagas Dewan Zakat Asia Tenggara berharap dapat mengambil peran dengan menjadi sekretaris jenderal pertama,” kata Arifin Purwakananta kepada wartawan di Hotel Bumiminang, Jalan Bundo Kandung, Padang, Senin (29/10).

KZAT II di Padang yang berlangsung mulai 30 Oktober hingga 3 November 2007, akan diikuti delegasi dari empat negara penggagas, yakni Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam dan Singapura. Sementara delegasi dari negara peninjau antara lain datang dari Australia, Jerman, Syiria dan Thailand. Total delegasi sekitar 300 orang.

Disebutkan Arifin Purwakananta, konferensi ini merupakan kelanjutan dari Konferensi Zakat Asia Tenggara I yang berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia, 13 – 15 Maret 2006. Konferensi Kuala Lumpur itu menghasilkan Deklarasi Zakat 2006 dan sekaligus membentuk Dewan Zakat Asia Tenggara (DZAT) sebagai organ penghubung institusi zakat dan masyarakat zakat di kawasan serumpun.

DZAT juga diharapkan menjadi majelis syuro terhadap masalah-masalah zakat, sekaligus penetap standarisasi manajemen zakat di wilayah nusantara. Sehingga pada akhirnya tercipta standar manajemen pengelolaan zakat yang baik dan dapat diterapkan secara global.

Peran Indonesia

Mengingat peran penting Indonesia dalam uoaya menggagas berdirinya lembaga ini, maka wajar saja jika Indonesia duduk sebagai sekretaris jenderal. Namun keinginan itu juga dilandasi kondisi kekinian mengenai perkembangan zakat di Tanah Air.

Gerakan zakat di Indonesia sudah berkembang demikian pesat. Lahirnya UU Nomor 38 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Zakat menunjukkan keseriusan pemerintah dan masyarakat dalam gerakan zakat.

“Nah, jika Indonesia terpilih sebagai sekretaris jenderal, dan sekretariat DZAT juga berada di Indonesia, maka akan memberikan nilai lebih dalam upaya semakin memajukan gerakan zakat di Indonesia,” kata Arifin yang duduk sebagai Jawatan Kuasa Penaja pada DZAT.

Tugas utama sekjen adalah memajukan gerakan zakat di kawasan regional. Jika sekretariat berada di Indonesia dan sekjen berasal dari Indonesia, maka perbaikan gerakan zakat di tingkat regional akan tumbuh dan berkembang bersamaan dengan perbaikan gerakan zakat di Indonesia. Di dalam negeri, kata Arifin, pengelolaan zakat masih menghadapi beberapa persoalan. Masalah keorganisasian yang belum baik, kepercayaan publik terhadap lembaga zakat yang belum baik.

“Jadi persoalanpersoalan ini akan diperbaiki bersamaan dengan perbaikan manajemen pengelolaan zakat di tingkat regional. Kita dapat membangun bersama gerakan zakat di Asia Tenggara bersamaan dengan di Indonesia,” kata Arifin yang juga Vice President Strategic Alliance Dompet Dhuafa.

Dalam kesempatan itu Arifin menjelaskan, dalam pelaksanaan konferensi kali ini, tentu ada beberapa isu berkembang yang akan dibahas, termasuk kemungkinan perubahan nama lembaga. Ada yang berharap namanya menjadi Dewan Zakat MABIMS, Majelis Agama Islam Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. MABIMS merupakan forum pertemuan tidak resmi para menteri agama keempat negara tersebut.

“Namun kita sangat berharap, lembaga tetap bernama Dewan Zakat Asia Tenggara,” kata Arifin Purwakananta

Ditegaskan Arifin, Indonesia menjadi tuan rumah dalam konferensi ini karena memang amanat dari KZAT I 2006 di Kuala Lumpur. Sementara penunjukan Padang sebagai lokasi penyelenggaraan karena kota ini sudah ditunjuk sebagai Kota Percontohan Manajemen Zakat oleh pemerintah melalui Departemen Agama. (*)

—————————–

Untuk Keterangan Lebih Lanjut Hubungi:

Pusat Informasi: Ahmad Juwaini (Direktur Program Dompet Dhuafa/08158195243),

M Arifin Purwakananta, Panitia Pengarah, Jawatan Kuasa Penaja Dewan Zakat Asia Tenggara, Jawatan Kuasa Teknikal Dewan Zakat MABIMS (0818152007)

h1

Penyaluran Wakaf al-Qur’an LAZIS SYUHADA

Februari 3, 2008

Gerakan wakaf al-Qur’an LAZIS SYUHADA sampai dengan hari ini telah menerima mushaf dari para Wakif sebanyak …… buah, dan telah disalurkan ke berbagai masjid/ mushola/ lembaga/  kelompok pengajian (daftar penerima terlampir dibawah ini) sebanyak ……. buah.

Daftar Tempat / Kelompok penerima distribusi Wakaf Qur’an:

1. ……………………………..

2. ……………………………..

3. ……………………………..

4. ……………………………..

h1

Menteri Zakat

Februari 3, 2008

ditulis oleh: Ahmad JuwainiKita patut bersyukur, karena selama satu dasa warsa terakhir, perkembangan zakat di Indonesia tumbuh begitu pesat. Sejak berdirinya Asosiasi Organisasi Pengelola Zakat seluruh Indonesia (Forum Zakat) pada 1997 sampai pada tahun ini banyak catatan menggembirakan terjadi dalam ranah zakat Indonesia. Pada tahun 1999 disahkan Undang Undang Pengelolaan Zakat, yaitu UU No. 38 Tahun 1999. Meskipun masih ditemukan adanya kelemahan dalam UU tersebut, tetapi keberadaannya telah meniupkan kegairahan pengelolaan zakat di Indonesia.

Kehadiran UU pengelolaan zakat, kemudian diikuti dengan munculnya perda zakat di berbagai daerah. Sampai saat ini telah tiga daerah propinsi dan 20 Kabupaten/Kota yang telah memiliki perda zakat. Kehadiran UU pengelolaan zakat juga telah menyuburkan berdirinya organisasi zakat formal yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) sebagai institusi pemerintah yang telah berdiri di 31 Propinsi dan lebih dari 300 Kabupaten/Kota serta 18 Lembaga Amil Zakat (LAZ) sebagai institusi bentukan masyarakat pada tingkat nasional yang telah dikukuhkan oleh Menteri Agama. Belum terhitung LAZ tingkat propinsi dan Kabupaten/Kota yang sudah dikukuhkan Gubernur dan Bupati atau Walikota.

Dinamika aktivitas organisasi pengelola zakat juga telah berdampak pada perubahan perilaku berzakat masyarakat Indonesia. Jika pada tahun 1997 masyarakat yang membayarkan zakatnya melalui institusi formal kurang dari 3 %, maka pada akhir tahun 2006 cakupannya sudah hampir mencapai 20 %. Hal ini juga ditunjukkan oleh akumulasi penghimpunan dana yang diperoleh organisasi zakat formal. Jika pada tahun 1997 akumulasi total yang dihimpun organisasi zakat formal hanya mencapai 150 Milyar, maka pada akhir tahun 2006 sudah mencapai 800 Milyar.

Akumulasi penghimpunan dana yang telah dihasilkan oleh organisasi zakat formal, masih sangat jauh dari potensi zakat yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia yaitu sebesar 19,3 Trilyun per tahun. Angka inipun masih dapat dieskalasi sampai mencapai 90 Trilyun, apabila zakat telah dikelola dengan sangat baik dan diikuti dengan donasi Infak/Sedekah atau Wakaf yang tergalang dengan optimal.

Tanda-tanda positif dari geliat zakat di Indonesia juga menunjukkan tentang mulai signifikannya urusan zakat dalam tata kelola negara kita. Berdirinya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pada tahun 2001 melalui SK Presiden No. 8 tahun 2001 dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada awal tahun 2007 ini, semakin menguatkan posisi zakat dalam lingkar pengelolaan negara. Dengan semakin luasnya lingkup persoalan zakat dan semakin besarnya pengaruh zakat, maka sudah seharusnya apabila kini zakat lebih dalam lagi ditempatkan dalam tata kelola negara Indonesia.

Kebutuhan untuk perlunya segera dibentuk Kementerian Zakat dan Wakaf menjadi semakin mendesak. Tentu saja pada tahap awal kementerian ini hanya berupa kementerian negara yang tidak membawahi departemen. Kementerian ini akan memerankan fungsi regulator dan pengawas, sekaligus penentu kebijakan pengelolaan zakat di Indonesia. Orientasi dari kementerian ini adalah mengarahkan agar zakat dapat dimaksimalkan dalam membantu pengentasan kemiskinan, pencapaian organisasi zakat yang profesional dan akuntabel, serta integrasi dan sinergi seluruh organisasi zakat di bawah satu payung kebijakan nasional.

Pola penanganan zakat juga harus mulai diubah, jika sebelumnya hanya didekati dalam platform hukum-hukum agama, maka ke depan harus didekati juga dalam instrumen pengelolaan keuangan dan kebijakan ekonomi. Sebagai sebuah kewajiban masyarakat, maka zakat adalah instrumen fiskal, akan tetapi dalam lingkup pemanfaatan dan pendayagunaan, maka zakat adalah instrumen moneter dan instrumen sosial. Sehingga tidak salah jika penataan dan pengelolaan zakat juga dikaitkan dengan kebijakan makro ekonomi suatu negara.

Kalau sekarang ini tulang punggung pendapatan dalam negeri kita adalah pajak, maka pada suatu ketika zakat juga akan mampu mendanai pembangunan dalam proporsi yang semakin berimbang dengan pajak. Bukankah pada masa lalu di Indonesia jumlah pendapatan pajak juga sangat kecil ? Apalagi kalau kita menengok sejarah Islam pada masa Rasul saw dan Khulafaur Rasyidin, maka kita mendapati bahwa porsi zakat dalam mendanai pembangunan cukup besar. Semoga dengan kehadiran Menteri Zakat, harapan agar peran zakat sangat signifikan dalam membantu mengatasi kemiskinan segera terwujud.

Ahmad Juwaini, Direktur Baznas DD.

h1

Fiqih Fidyah

Februari 3, 2008

Fidyah

Adalah pemberian bahan makanan pokok atau makanan siap saji kepada orang miskin (fakir atau miskin) karena meninggalkan puasa Ramadhan dengan alasan yang dibenarkan oleh syariat. Adapun fidyah yang berhubungan dengan ibadah haji adalah denda/ganti atas tidak ditunaikannya tahallul karena sakit atau ada luka di kepala.

Ukuran Fidyah
Ukuran fidyah adalah satu ukuran sekali makan untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan tersebut. Ukurannya adalah ½ sha’ atau satu mud.

Satu Sha’ jika dikonversikan dengan kilogram adalah antara 2,2 kg atau 2,5 kg, atau 3 kg (perbedaan ini menurut perbedaan tarjih para ulama). Sedangkan satu mud sama dengan 1/4 sha’ nabawy atau 1/5 sha’ penduduk Qashim (satu wilayah di Saudi Arabia) sekarang.

Khusus untuk fidyah untuk haji adalah ada tiga alternatif:
1. Berpuasa 3 hari;
2. Memberi makan 6 orang miskin;
3. Menyembelih hewan ternak.

Dalilnya adalah:

Firman Allah: “Dan adapun kepada orang-orang yang tidak mampu berpuasa, maka hendaklah ia membayar fidyah yaitu memberi makan satu orang miskin.” Q.S. Al-Baqarah: 184.

Sabda Rasulullah: “Siapa yang meninggal dunia sedangkan ia memiliki hutang puasa, maka hendaklah diberikan makanan kepada seorang miskin per hari untuk orang tersebut.” HR. Ibn Majah dari Ibn Umar, Tirmidzi mengatakan: “Yang shahih/benar tentang hadits Ibn Umar adalah mauquf.”

Dari Aisyah, ia berkata: “Memberikan makan atas nama orang yang meninggal tersebut sebagai qadha atas puasa Ramadhannya, dan tidak dipuasakan.”

Dan Ibn Abbas ketika ditanya tentang seorang laki-laki yang meninggal, sementara ia memiliki hutang nadzar puasa satu bulan dan hutang puasa Ramadhan 1 bulan, maka ia menjawab: “Adapun puasa ramadhan yang terhutang, maka lunasilah dengan membayarkannya dalam bentuk makanan, adapun nadzarnya, maka puasakanlah untuknya.” HR. Al-Atsram dalan Al-Sunan.

Apabila seseorang tidak bisa mengqadha puasanya karena udzur yang dibenarkan syariat, hingga ia meninggal dunia, maka tidak ada beban apapun atasnya. Hal ini karena puasa adalah hak Allah, ia diwajibkan berdasarkan syariat, akan tetapi ia meninggal sebelum tertunaikan kewajibannya. Maka, siapapun yang diwajibkan dari sesuatu sebelum ada kemampuan maka gugurlah kewajiban itu tanpa harus menggantinya, seperti misalnya juga haji. (Jika seseorang tidak mampu menunaikan haji, walaupun ia rukun Islam kelima, namun seseorang tidak ada kewajiban apapun atas rukun Islam ini kecuali kalau memiliki kemampuan –pent).

Namun, jika ia meninggal dan belum menunaikan qadha puasa tanpa udzuar, maka hendaklah ditunaikan qadhanya berupa pemberian makan kepada seorang miskin per hari sesuai jumlah hari yang ditinggalkannya. Hal ini berdasarkan hadis Ibn Umar, Aisyah, dan Ibn Abbas.

Siapa yang tidak berpuasa ramadhan karena sudah tua-renta, ataupun sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya, maka hendaklah ia memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya.

Adapun dalil fidyah dalam urusan haji adalah firman Allah: Maka siapa yang sedang sakit atau ada luka di kepalanya, maka fidyahnya adalah dengan puasa atau shadaqah atau menyembelih hewan. Q.S. Al-Baqarah: 196.

Dalil kedua adalah hadits ibn Ujrah yang terluka di kepalanya, maka Rasulullah bersabda: Maka fidyahnya adalah puasa 3 hari, atau memberi makan 6 orang miskin, atau menyembelih kambing. HR. Muttafaq Alaih

Apa yang diberikan dan berapa?

Tidak ada ketentuan atau batasan yang jelas, maka hal ini kita kembalikan kepada kebiasaan. Anas ibn Malik ketika sudah tua pernah mengumpulkan 30 orang fakir dan memberi mereka makan dengan roti beserta lauknya HR. Bukhari dalam tafsirnya 3/197.

Maka jika seseorang memberi makan siang atau makan malam kepada seorang miskin, maka itu sudah cukup untuk disebut sebagai fidyahnya atas puasa yang ia tinggalkan itu.

Sebagian ulama mengatakan: “Cara demikian tidak sah, yang benar adalah memberi bahan makanan pokok. Oleh karena itu, mereka mengatakan: tidak boleh tidak, harus memberi dalam bentuk 1 mud gandum atau ½ sha’ bahan makanan pokok. (1 sha’ adalah 3 kg; 1 mud adalah ¼ sha’. Lihar detailnya dalam kamus zakat di www.siwakz.net). Sebagian ulama lainnya mengatakan ½ sha’ dari bahan makanan pokok apapun. (Nailul Authar 4/232).

Apa yang dimaksud dengan ½ sha’?
Apakah ½ sha’ ini ukuran yang dikenal menurut masyarakat setempat ataukah menurut ukuran di zaman Nabi SAW? Jawaban kami adalah: tidak ada seorang pun sepengetahuan kami dari seluruh ulama, yang mengatakan ukuran sha’ adalah menurut masyarakat setempat. Jadi yang benar adalah menurut ukuran sha’ di zaman Nabi SAW.

Sebagian ulama ada yang membolehkan ukuran dengan ukuran sha’ daerah qashim, namun tatkala kami lihat ukurannya, ternyata 1 sha’ daerah qashim lebih banyak dari 1 sha’ zaman Nabi sebanyak 0,25-nya, sebab sha’ kita (Qashim) ternyata 5 mud, sedangkan sha’ nabawy hanya 4 mud.

*** Penerjemah: Abu Muhammad ibn Shadiq dengan beberapa tambahan.

h1

Undang-Undang Zakat RI

Februari 3, 2008

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 38 TAHUN 1999
TENTANG
PENGELOLAAN ZAKAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa Republik Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agamanya masing-masing;
b. bahwa penunalan zakat mcrupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan hasil, pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan,kesejahteraan masyarakat;
c. bahwa zakat merupakan pranata keagamaaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (??) dengan memperhatikan masyarakat yang kurang mampu;
d. bahwa upaya penyempurnaan sistem pengelolaan zakat perlu terus ditingkatkan agar pelaksanaan , zakat lebih, berhasil guna dan berdaya guna serta pelaksanaan zakat dapat dipertanggungjawabkan;
e. bahwa berdasarkan hal-hal.tersebut pada butir a, b, c, dan d, perlu dibentuk Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat;

Mengingat :
1. Pasal 5, ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 29, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 945;
2. Ketetapan Mejelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara;
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tunbahan Lembaran Negara Nomor 3400);
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
M e m u t u s k a n :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunuan zakat
2. Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya;
3. Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat.
4. Mustahiq adalah orang atau badan yang, berhak menerima zakat.
5. Agama adalah Agama Islam.
6. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang agama.

Pasal 2

Setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang muslim berkewajiban menunaikan zakat.

Pasal 3

Pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq, dan amil zakat.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 4

Pengelolaan zakat berasaskan iman dan taqwa, keterbukaan, dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Pasal 5

Pengelolaan zakat bertujuan :
1. meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama;
2. meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial;
3. meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.

BAB III
ORGANISASI PENGELOLAAN ZAKAT

Pasal 6

(1) Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah.
(2) Pembentukan badan amil zakat :
a. nasional oleh Presiden atas usul Menteri;
b. daerah propinsi oleh gubernur atas usul kepala kantor wilayah departemen agama propinsi;
c. daerah kabupaten atau daerah kota oleh bupati atau wali kota atas usul kepala kantor departemen agama kabupaten atau kota;
d. kecamatan oleh camat atas usul kepala kantor urusan agama kecamatan.

(3) Badan amil zakat di semua tingkatan memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsulatif, dan informatif.
(4) Pengurus badan amil zakat terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu.
(5) Organisasi badan amil zakat terdiri atas unsur pertimbangan, unsur pengawas, dan pelaksana.

Pasal 7

(1) Lembaga zakat dikukuhkan, dibina, dan dilindungi oleh pemerintah.
(2) Lembaga amil zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 8

Badan amil zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan lembaga amil zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.

Pasal 9

Dalam melaksanakan tugasnya, badan amil zakat dan lembaga amil zakat bertanggung jawab zakat bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatnya.

Pasal 10

Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja badan amil zakat ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Bab IV
PENGUMPULAN ZAKAT

Pasal 11

(1) Zakat terdiri atas zakat mal dan zakat fitrah
(2) Harta yang dikenai zakat adalah :
a. emas, perak dan uang
b. perdagangan dan perusahaan
c. hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan;
d. hasil pertambangan;
e. hasil peternakan;
f hasil pendapatan dan jasa;
g. rikaz.

(3) Penghitungan zakat mal menurut nishab, kadar, dan waktunya ditetapkan berdasarkan hukum agama.

Pasal 12

(1) Pengumpulan zakat dilakukan oleh badan amil zakat dengan cara menerima atau mengambil dari muzakki atas dasar pemberitahuan muzakki;
(2) Badan amil zakat dapat bekerja sama dengan bank dalam pengumpulan zakat harta muzakki yang berada di bank atas permintaan muzakki.

Pasal 13

Badan Amil Zakat dapat menerima harta selain zakat, seperti infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat.

Pasal 14

(1) Muzakki melakukan penghitungan sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya berdasarkan hukum agama.
(2) Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), muzakki dapat meminta bantuan kepada badan amil zakat atau badan amil zakat memberikan bantuan kepada muzakki untuk menghitungnya.
(3) Zakat yang telah dibayarkan kepqda badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 15

Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh badan amil zakat ditetapkan dengan keputusan menteri.

BAB V
PENDAYAGUNAAN ZAKAT

Pasal 16

(1) Hasil pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama.
(2) Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif.
(3) Persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan keputusan menteri.

Pasal 17

Hasil penerimaan infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 didayagunakan terutama untuk usaha yang produktif (??).

BAB VI
PENGAWASAN

Pasal 18

(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas badan amil zakat dilakukan oleh unsure pengawas sebagaimana dimaksud dalam (3) Pasal 6 ayat (5)
(2) Pimpinan unsur pengawas dipilih langsung oleh anggota.
(3) Unsur pengawas berkedudukan di semua tingkatan badan amil zakat.
(4) Dalam melakukan perneriksaan keuangan badan amil zakat, unsur pengawas dapat meminta bantuan akuntan publik.

Pasal 19

Badan amil zakat memberikan laporan tahunan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan tingkatannya.

Pasal 20

Masyarakat dapat berperan serta dalam pengawasan badan amil zakat dan Lembaga amil zakat.

BAB VII
S A N K S I

Pasal 21

(1) Setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakat, infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 12, dan Pasal 13 dalam undang-undang ini diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana yang dimaksud pada ayat (1) di atas meruPakan pelanggaran.
(3) Setiap petugas badan amil zakat dan petugas lembaga amil zakat yang melakukan tindak pidana kejahatan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VIII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Pasal 22

Dalam hal muzakki berada atau menetap di luar negeri, pengumpulan zakatnya dilakukan oleh unit pengurnpul zakat pada perwakilan Republik Indonesia, yang selanjutnya diteruskan kepada badan amil zakat Nasional.

Pasal 23

Dalam menunjang pelaksanaan tugas badan amil zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pemerintah wajib membantu biaya operasional badan amil zakat.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 24

(1) Semua peraturan perundang-undangan yang . mengatur pengelolaan zakat masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Selambat-lambatnya dua tahun sejak diundangkannya undang-undang ini, setiap organisasi pengelolaan zakat yang telah ada wajib menyesuaikan menurut ketentuan Undang-undang ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 25

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Undang-undang ini Dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MULADI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 164

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 38 TAHUN 1999
TENTANG
PENGELOLAAN ZAKAT

I. UMUM
Memajukan kesejahteraan umum merupakan salah satu tujuan nasional negara Republik Indonesia yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, bangsa Indonesia senantiasa Melaksanakan pembangunan yang bersifat fisik materiil dan mental spiritual, antara lain melalui pembangunan di bidang agama yang mencakup terciptanya suasana kehidupan beragama yang penuh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan akhlak mulia, terwujudnya kerukunan hidup umat beragama yang dinamis sebagai landasan persatuan dan kesatuan bangsa, dan meningkatnya peran serta masyarakat dalam pembangunan nasional. Guna mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya, antara lain dengan menggali dan memanfaatkan dana melalui zakat.

Zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu untuk membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan pengelolaan yang. baik, zakat merupakan sumber dana potensial yang dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat.

Agar menjadi sumber dana yang dimanfaatkan bagi kesejahtcraan masyarakat terutama untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial, perlu adanya pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggung jawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan pelindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq, dan pengelola zakat. Untuk maksud tersebut, perlu adanya undang-undang tentang pengelolaan zakat yang berasaskan iman dan takwa dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, kemaslahatan, keterbukaan, dan kepastian hukum sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Tujuan pengelolaan zakat adalah meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat, meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewuJudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, serta meningkatkannya hasil guna dan daya guna zakat.

Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat juga mencakup pengelolaan infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan agar menjadi pedoman bagi muzaki dan mustahiq, baik perseorangan maupun badan hukum dan/atau badan usaha.

Untuk menjamin pengelolaan zakat sebagai amanah agama, dalam undang-undang ini ditentukan adanya unsur pertimbangan dan unsur pengawas yang terdiri atas ulama, kaum cendekia, masyarakat, dan pemerintah serta adanya sanksi hukum terhadap pengelola.

Dengan dibentuknya Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat diharapkan dapat ditingkatkan kesadaran muzakki untuk menunaikan kewajiban zakat dalam rangka menyucikan diri terhadap harta yang dimilikinya, mengangkat derajat mustahiq, dan meningkatnya keprofesionalan pengelola zakat, yang semuanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT.

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemerintah adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Pemerintah pusat, membentuk badan amil zakat Nasional, yang berkedudukan di ibu kota Negara.

Pemerintah daerah membentuk badan amil zakat daerah yang berkedudukan di ibu kota propinsi, kabupaten atau kota dan kecamatan.

Ayat (2)
huruf a
cukup jelas

huruf b
cukup jelas

huruf c
cukup jelas

huruf d
Badan amil zakat kecamatan dapat membentuk unit pengumpul zakat di desa atau di kelurahan.

Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan masyarakat ialah ulama, kaum cendekia, dan tokoh masyarakat setempat.

Yang dimaksud dengan memenuhi persyaratan. tertentu, antara lain, memiliki sifat amanah, adil, berdedikasi, profesional, dan berintegritas tinggi.

Ayat (5)
Unsur pertimbangan dan unsur pengawas terdiri atas para ulama, kaum cendekia, tokoh masyarakat, dan wakil Pemerintah.

Unsur pelaksana terdiri atas unit administrasi, unit pengumpul, unit pendistribusi, dan unit lain sesuai dengan kebutuhan.

Untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat, dapat dibentuk unit pengumpul zakat sesuai dengan kebutuhan di instansi Pemerintah dan swasta, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Pasal 7
Ayat (1)
Lembaga amil zakat adalah institusi pengelolaan zakat yang Sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat, dan oleh masyarakat.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 8
Agar tugas pokok dapat lebih berhasil guna dan berdaya guna, badan amil zakat perlu melakukan tugas lain seperti penyuluhan, dan pemantauan.

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Ayat (1)

Zakat mal adalah bagian harta yang disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki o1eh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan, kepada yang berhak menerimanya.

Zakat fitrah adalah sejumlah, bahan makanan pokok yang dikeluarkan pada Bulan Ramadhan oleh setiap orang, muslim bagi dirinya dan bagi orang yang Ditanggungnya yang memiliki kelebihan makanan pokok untuk sehari pada hari Raya Idul Fitri.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Nishab adalah jumlah minimal harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya.

Kadar zakat adalah besarnya penghitungan atau persentase zakat yang harus dikeluarkan.

Waktu zakat dapat terdiri atas haul atau masa pemilikan harta kekayaan selama dua belas bulan Qomariah, tahun Qomariah, panen, atau pada saat menemukan rikaz.

Pasal 12
Ayat (1)
Dalam melaksanakan tugasnya, badan amil zakat harus bersikap proaktif melalui kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bekerja sama dengan bank dalam pengumpulan zakat adalah memberikan kewenangan kepada bank berdasarkan persetujuan nasabah selaku muzakki untuk memungut zakat harta simpanan muzakki yang kemudian diserahkan kepada badan amil zakat.

Pasal 13
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan :
infaq adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan, di luar zakat, untuk kemaslahatan umum;

shadaqah adalah harta, yang dikeluarkan, seorang muslim atau, badan yang dimiliki oleh orang muslim, di luar zakat, untuk kemaslahatan Umum;

hibah adalah pemberian uang atau barang oleh seorang atau oleh badan yang dilaksanakan,pada waktu orang itu, hidup kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat;

wasiat adalah pesan untuk memberikan suatu barang kepada badan amil zakat atau lembaga arnil zakat; pesan itu baru dilaksanakan sesudah pemberi wasiat meninggal dunia dan sesudah diselesaikan penguburannya dan pelunasan utang-utangnya, jika ada;

waris adalah.harta tinggalan seorang yang beragama Islam, yang diserahkan kepada badan amil zakat atau, lembaga amil zakat berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

Kafarat adalah denda wajib yang dibayar kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat oleh orang yang melanggar ketentuan agama.

Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Pengurangan zakat dari laba/pepdapatan sisa kena pajak dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak kesadaran membayar zakat dapat memacu kesadaran membayar, pajak.

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Mustahiq delapan ashnaf ialah fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnussabil, yang di dalam aplikasinya dapat meliputi orang-orang yang paling tidak berdaya secara ekonomi seperti anak yatim, orang jompo, Penyandang cacat, orang yang menuntut ilmu, pondok pesantren, anak terlantar, orang yang terlilit utang, pengungsi yang terlantar, dan korban bencana alam.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 17
Pendayagunaan infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat diutamakan untuk usaha yang produktif agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pengadministrasian keuangannya dipisahkan dari pengadministrasian keuangan zakat.

Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk :
a. memperoleh informasi tentang pengelolaan zakat yang dikelola oleh badan amil zakat dan lembaga amil zakat;
b. menyampaikan saran dan pendapat kepada badan ami1 zakat dan lembaga amil zakat;
c. memberikan laporan atas terjadinya penyimpangan pengelolaan zakat.

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Ayat (1)
Selama ini ketentuan tentang pengelolaan zakat diatur dengan keputusan dan instruksi menteri. Keputusan tersebut adalah Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 29 dan 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah diikuti dengan Instruksi Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1998 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3885

h1

Permasalahan Zakat Kontemporer

Februari 3, 2008

Fatwa-Fatwa Hasil Sidang IV untuk Permasalahan Zakat Kontemporer

Bahrain, 17 Syawwal 1414 – 29 Maret 1994

Pertama: Penyaluran Zakat untuk Amil

1. Amil zakat adalah setiap orang yang ditunjuk oleh pemimpin negeri-negeri Islam, atau ditugaskan dan dipilih oleh lembaga yang berkiprah di bidang zakat, baik pemerintah maupun organisasi keislaman untuk melaksanakan aktivitas pengumpulan, penyaluran beserta segala konsekuensinya seperti advertansi tentang hukum-hukum zakat, memperkenalkannya kepada para pemilik modal, advertansi tentang para mustahiq, menyimpan, mengelola, menjaga, mengembangkan (bukan membungakan –pent), mendayagunakan dalam sektor usaha profit making sesuai ketentuan yang sudah diputuskan dalam Fatwa hasil sidang I. Lembaga Islam yang termasuk di sini adalah yayasan-yayasan Islam, berbagai wadah perkumpulan yang ada di zaman kini yang concern di bidang shadaqah. Semua lembaga-lembaga tersebut di atas harus sesuai dengan sistem Islam dan syarat-syarat yang ditetapkan untuk bisa menjadi amil zakat.

2. Diantara tugas yang harus dikerjakan oleh amil adalah tugas yang bersifat baku karena terkait dengan tugas pokok dan manajemen. Maka, dipersyaratkan untuk setiap orang yang akan memegang tanggung jawab ini adalah ia harus memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh para fuqaha (ahli fiqh), seperti muslim, laki-laki, amanah, berilmu tentang hukum-hukum zakat. Dan bisa ditambahkan persyaratan lainnya jika ada salah satu persyaratan di atas yang tidak terpenuhi.

3. Amil zakat berhak atas dana zakat namun tidak boleh lebih dari gajinya walaupun mereka bukan fakir, dengan catatan penyaluran untuk seluruh amil dan peralatan serta administrasi tidak boleh lebih dari 12,5 %. Hal ini dengan memperhatikan untuk tidak mempekerjakan orang untuk menjadi amil kecuali sesuai kebutuhan walaupun sebaiknya tanggung jawab gaji mereka, seluruhnya atau sebagiannya, dibebankan kepada pemerintah. Hal ini ditujukan agar dana zakat juga tersalur kepada para mustahiq lainnya. Amil tidak boleh menerima pemberian apapun, hadiah, hibah, ataupun uang dari orang lain.

4. Penambahan lokasi lembaga/yayasan dan administrasinya yang konsekuensinya akan memerlukan penambahan sarana dan prasarana, jika tidak memungkinkan untuk bisa menganggarkan dari dana selain zakat seperti anggaran negara, hibah, shadaqah, maka boleh untuk diambilkan dari hak amil sesuai kebutuhan. Hal ini dengan catatan bahwa sarana dan prasarana tersebut memiliki hubungan langsung dengan aktivitas pengumpulan zakat, penyaluran, ataupun dampak positif terhadap progresivitas penerimaan zakat.

5. Wajib melakukan kontrol terhadap lembaga zakat. Hal ini sebagai bentuk pengamalan terhadap perilaku Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengevaluasi para petugas zakat. Sebab, amil zakat adalah pemegang amanah harta, maka ia harus memberikan pertanggungjawabannya, baik berupa pelanggaran maupun ketidakoptimalan kerjanya.

6. Amil harus selalu memperhatikan kode etik Islam secara umum seperti sopan-santun kepada para muzakki, mendoakan muzakki, kepada mustahiq, mempublikasikan hukum-hukum zakat dan urgensinya sehingga tercapai social insurance, serta bersegera dalam menyalurkan berbagai shadaqah ketika ada mustahiq.

Kedua: Zakat atas Harta Haram

1. Harta haram adalah setiap harta yang oleh syariat diperingatkan agar dijauhi dan tidak digunakan, baik haram secara dzat karena mengandung unsur bahaya maupun nista seperti bangkai dan minuman keras, ataupun haram karena factor lain, misalnya karena adanya link yang salah dalam proses perolehannya seperti memiliki tanpa izin pemiliknya (menipu), ataupun mengambil dengan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh syariat walaupun saling ridha, seperti riba dan suap.

2. Untuk harta haram karena sebab adanya link yang salah dalam proses perolehannya, maka ia tidak ada pemiliknya sepanjang zaman apapun. Pemegang harta ini wajib mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah ataupun kepada ahli warisnya, jika terketahui. Jika tidak lagi memungkinkan, maka ia wajib menyalurkannya dalam sektor sosial sehingga ia bisa terbebas dari harta tersebut, dengan meniatkan shadaqah dari pemiliknya yang sah.

3. Jika harta haram itu merupakan gaji atas pekerjaan haram, maka pemiliknya harus menyalurkannya pada sektor sosial dan tidak mengembalikannya kepada pemilik sebelumnya.

4. Tidak boleh mengembalikan harta haram kepada pemiliknya jika pemiliknya masih tetap bermuamalah secara haram yang menyebabkan terjadinya harta haram, seperti bunga bank, akan tetapi harta itu disalurkan dalam sektor sosial.

5. Jika ia tidak bisa mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya yang sah maka ia wajib mengembalikannya dengan harta yang sepadan ataupun secara senilai jika mampu. Jika tidak, maka ia wajib menyalurkannya dalam sektor sosial dengan meniatkan shadaqah dari pemiliknya yang sah.

6. Harta yang haram secara dzat tidak bisa menjadi halal karena dizakati, sebab ia bukanlah harta yang benar dalam pandangan syariat. Oleh karena itu, wajib atas setiap kita membebaskan diri darinya dengan cara-cara yang dibenarkan syariat.

7. Harta yang haram karena adanya faktor lain, semisal karena adanya link yang salah dalam proses perolehannya tidak ada zakatnya. Namun jika sudah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah maka, berdasarkan pendapat yang dipilih, pemiliknya wajib menunaikan zakatnya untuk tahun pertama saja walupun harta tersebut sudah berlalu bertahun-tahun.

8. Pemegang harta haram, jika ia mengeluarkan zakat atas harta tersebut, maka ia mendapatkan dosa karena ia masih memegang harta haram, dan zakatnya tidak sah, dan ia tetap menanggung beban itu sampai ia mengembalikan kepada pemiliknya yang sah ataupun kepada ahli warisnya jika mampu ataupun menshadaqahkan atas nama pemiliknya.

Ketiga: Zakat dan Pajak

1. Sidang menyuarakan kepada para pemimpin pemerintahan negeri-negeri muslimin untuk menetapkan undang-undang tentang pengumpulan dan penyaluran zakat. Sidang menyuarakan agar mereka mendirikan badan atau lembaga zakat dengan seluruh penerimaan dan penyalurannya dalam rekening dan system tersendiri. Sidang juga menyuarakan agar mereka meninjau ulang seluruh system keuangan yang sudah ada dan menyesuaikannya dengan system Islam.

2. Pada dasarnya, neraca keuangan negara adalah dari penerimaan kepemilikan umum dan penerimaan yang halal. Namun jika tidak mencukupi, pemerintah diperbolehkan menetapkan pajak dengan cara yang adil untuk kebutuhan pembiayaan negara dimana hal itu tidak boleh dari penerimaan zakat, ataupun untuk menutupi defisit dalam penyaluran zakat dalam memenuhi kebutuhan para mustahiq.

3. Karena pembolehan penetapan adanya pajak adalah demi kemaslahatan, maka wajib tetap memperhatikan maslahat ketika akan menetapkan besaran pajak, sesuai dengan kaidah system keuangan yang islami dan memperhatikan kaidah-kaidah umum serta maqashid syariah (tujuan-tujuan penetapan hukum).

4. Dipersyaratkan agar dalam menetapkan adanya aturan pajak tetap melihat kepada kebutuhan faktual.

5. Wajib memperhatikan azas keadilan dalam timbangan syariat, baik dalam penyaluran dan penggunaannya, serta ditetapkan adanya fungsi kontrol yang terpercaya dan professional.

6. Pembayaran pajak tidak menggugurkan kita dari kewajiban menunaikan zakat karena perbedaan keduanya, baik dari aspek dasar hukum perwajibannya maupun tujuan utamanya, apalagi jika dilihat dari aspek lainnya seperti tata-kelolanya, standar minimal wajibnya, penyalurannya. Dan tidak boleh memotong pajak dari harta wajib zakat.

7. Pajak yang wajib dibayarkan dalam satu tahun akan tetapi tidak dibayarkan dalam 2 tahun, maka pajaknya dipotongkan dari harta wajib zakat, dengan pertimbangan bahwa hak yang wajib ditunaikan.

8. Sidang menyarankan kepada pemerintah negeri-negeri muslimin untuk mengevaluasi undang-undang dan peraturannya agar bisa mengeluarkan zakat dari harta wajib pajak. Hal ini untuk memudahkan muslimin dalam menunaikan kewajiban zakatnya. ***

Penerjemah:
Abu Muhammad ibn Shadiq

h1

Fiqih Kafarat

Februari 3, 2008

Kafarat atau tebusan disebut denda, yakni tebusan atas suatu pelanggaran aturan syari’at. Ada enam hal yang diterangkan tebusan-nya dalam syari’at Islam, yaitu:

1. Tebusan untuk pelanggaran sumpah
2. Tebusan untuk pelanggaran nadzar
3. Tebusan pembunuhan
4. Tebusan zhihar (suami, Engkau bagiku seperti punggung ibuku.)
5. Tebusan ila’ (sumpah untuk tidak menggauli isteri)
6. Tebusan karena ber-jima’ di siang hari bulan Ramadhan
7. Denda dalam haji.

Jika diklasifikasikan, jenis tebusan di atas dapat dibagi dua:
1. Boleh memilih: tebusan sumpah, nadzar, ila’, melakukan larangan ketika haji karena sakit, membunuh binatang buruan ketika haji, ada binatang yang serupa maupun tidak ada.
2. Tidak boleh memilih: tebusan zhihar, ber-jima’ di siang hari Ramadhan, membunuh, meninggalkan kewajiban haji karena sakit ketika haji, terhalang haji tamattu’ dan haji qiran, dan ber-jima’ sebelum tahallul awwal dalam haji.

Syarat Wajibnya Kafarat Atas Pelanggaran Sumpah
1. Sengaja mengucapkan sumpah:
Allah I tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja, tetapi Dia menghukum disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja (Q.S. Al-Ma’idah: 89).
2. Sumpah diucapkan atas perkara yang mungkin (terjadi) di masa yang akan datang.
3. Diucapkan atas pilihannya sendiri, seseorang yang dipaksa mengucapkan sumpah tidak dikenakan tebusan atau denda; Ummatku dimaafkan karena kekeliruan dan kelupaan serta perkara yang dipaksakan kepadanya. (HR. Ibnu Majah: (1/659), al-Hakim, shahih (2/198).))
4. Ingat. Seseorang bersumpah karena lupa, atau melanggarnya karena lupa, maka tidak dikenakan kafarat. (Asy-Syarh Al-Kabir (2/143).
5. Diucapkan dengan lisan; sumpah yang hanya dalam hati tidak dikenai sanksi.
Sesungguhnya Allah I membiarkan bagi ummatku sesuatu yang dibisikkan dalam hatinya selama tidak dibicarakan dan tidak pula dilaksanakan. (HR. Al-Bukhari: (2528)
6. Terjadi pelanggaran atas sumpah.

(Sumber: Hukum Kafarat,. Syaikh Prof. Dr. Abdullah ibn Muhammad Al-Thayyar, Penerbit: Pustaka Alsofwa, Ed. I/2004M)

h1

Fiqih Shadaqah dan Infaq

Februari 3, 2008

Shadaqah dan Infaq adalah salah satu pilar investasi sosial Islam bagi perbaikan nasib kalangan marjinal, dhu’afa, dan mustadh’afiin; merupakan salah satu bukti atas kepedulian dan kesempurnaan dien Islam untuk menyelesaikan problem kehidupan bermasyarakat.

Shadaqah dan Infaq adalah perintah Allah ta’alaa kepada para Nabi dan Rasul serta kepada ummat mereka, sebagai bukti atas keimanan yang mereka iqrar-kan; iman kepada Allah ta’alaa dan kepada kenabian para nabi yang hidup pada saat itu.

Allah ta’alaa berfirman tentang ummat Nabi Musa alaihis salam
Dan ingatlah, ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah sesuatu kecuali Allah ta’alaa semata, berbuat santun kepada kedua orang tua, kaum kerabat, anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang santun kepada manusia. (Q.S. Al-Baqarah: 83)
[Kata kunci: Ummat Nabi Musa diambil sumpah untuk berbuat santun kepada kedua orang tua, dan dhu’afa ]

Tentang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasalamdan Ummatnya
Merekalah orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, lagi mendirikan shalat, dan menginfaqkan sebagian dari rizqi yang Kami anugerahkan kepada mereka. (Q.S. Al-Baqarah: 3)

Yaitu orang-orang yang menyisihkan sebagian rizqinya untuk hak yang sudah ma’lum, untuk peminta-minta dan orang yang tidak meminta-minta (Q.S. Al-Ma’aarij: 24 – 25).

Dan mereka memberikan makanan yang mereka sukainya ke-pada orang-orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. (Q.S. Al-Insaan: 8)
[ Kata kunci: Orang bertaqwa: beriman, shalat dan berinfaq]

Sabda Rasulullah e tentang Anjuran Shadaqah:
Siapa yang mampu untuk melindungi dirinya dari api neraka, walaupun dengan sebutir tamr (kurma masak), maka lakukanlah (HR. Imam Muslim, NO. 2302)
[ Kata kunci: Perlindungan diri dari Neraka, diantaranya dengan infaq ]