h1

Fiqih Fidyah

Februari 3, 2008

Fidyah

Adalah pemberian bahan makanan pokok atau makanan siap saji kepada orang miskin (fakir atau miskin) karena meninggalkan puasa Ramadhan dengan alasan yang dibenarkan oleh syariat. Adapun fidyah yang berhubungan dengan ibadah haji adalah denda/ganti atas tidak ditunaikannya tahallul karena sakit atau ada luka di kepala.

Ukuran Fidyah
Ukuran fidyah adalah satu ukuran sekali makan untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan tersebut. Ukurannya adalah ½ sha’ atau satu mud.

Satu Sha’ jika dikonversikan dengan kilogram adalah antara 2,2 kg atau 2,5 kg, atau 3 kg (perbedaan ini menurut perbedaan tarjih para ulama). Sedangkan satu mud sama dengan 1/4 sha’ nabawy atau 1/5 sha’ penduduk Qashim (satu wilayah di Saudi Arabia) sekarang.

Khusus untuk fidyah untuk haji adalah ada tiga alternatif:
1. Berpuasa 3 hari;
2. Memberi makan 6 orang miskin;
3. Menyembelih hewan ternak.

Dalilnya adalah:

Firman Allah: “Dan adapun kepada orang-orang yang tidak mampu berpuasa, maka hendaklah ia membayar fidyah yaitu memberi makan satu orang miskin.” Q.S. Al-Baqarah: 184.

Sabda Rasulullah: “Siapa yang meninggal dunia sedangkan ia memiliki hutang puasa, maka hendaklah diberikan makanan kepada seorang miskin per hari untuk orang tersebut.” HR. Ibn Majah dari Ibn Umar, Tirmidzi mengatakan: “Yang shahih/benar tentang hadits Ibn Umar adalah mauquf.”

Dari Aisyah, ia berkata: “Memberikan makan atas nama orang yang meninggal tersebut sebagai qadha atas puasa Ramadhannya, dan tidak dipuasakan.”

Dan Ibn Abbas ketika ditanya tentang seorang laki-laki yang meninggal, sementara ia memiliki hutang nadzar puasa satu bulan dan hutang puasa Ramadhan 1 bulan, maka ia menjawab: “Adapun puasa ramadhan yang terhutang, maka lunasilah dengan membayarkannya dalam bentuk makanan, adapun nadzarnya, maka puasakanlah untuknya.” HR. Al-Atsram dalan Al-Sunan.

Apabila seseorang tidak bisa mengqadha puasanya karena udzur yang dibenarkan syariat, hingga ia meninggal dunia, maka tidak ada beban apapun atasnya. Hal ini karena puasa adalah hak Allah, ia diwajibkan berdasarkan syariat, akan tetapi ia meninggal sebelum tertunaikan kewajibannya. Maka, siapapun yang diwajibkan dari sesuatu sebelum ada kemampuan maka gugurlah kewajiban itu tanpa harus menggantinya, seperti misalnya juga haji. (Jika seseorang tidak mampu menunaikan haji, walaupun ia rukun Islam kelima, namun seseorang tidak ada kewajiban apapun atas rukun Islam ini kecuali kalau memiliki kemampuan –pent).

Namun, jika ia meninggal dan belum menunaikan qadha puasa tanpa udzuar, maka hendaklah ditunaikan qadhanya berupa pemberian makan kepada seorang miskin per hari sesuai jumlah hari yang ditinggalkannya. Hal ini berdasarkan hadis Ibn Umar, Aisyah, dan Ibn Abbas.

Siapa yang tidak berpuasa ramadhan karena sudah tua-renta, ataupun sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya, maka hendaklah ia memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya.

Adapun dalil fidyah dalam urusan haji adalah firman Allah: Maka siapa yang sedang sakit atau ada luka di kepalanya, maka fidyahnya adalah dengan puasa atau shadaqah atau menyembelih hewan. Q.S. Al-Baqarah: 196.

Dalil kedua adalah hadits ibn Ujrah yang terluka di kepalanya, maka Rasulullah bersabda: Maka fidyahnya adalah puasa 3 hari, atau memberi makan 6 orang miskin, atau menyembelih kambing. HR. Muttafaq Alaih

Apa yang diberikan dan berapa?

Tidak ada ketentuan atau batasan yang jelas, maka hal ini kita kembalikan kepada kebiasaan. Anas ibn Malik ketika sudah tua pernah mengumpulkan 30 orang fakir dan memberi mereka makan dengan roti beserta lauknya HR. Bukhari dalam tafsirnya 3/197.

Maka jika seseorang memberi makan siang atau makan malam kepada seorang miskin, maka itu sudah cukup untuk disebut sebagai fidyahnya atas puasa yang ia tinggalkan itu.

Sebagian ulama mengatakan: “Cara demikian tidak sah, yang benar adalah memberi bahan makanan pokok. Oleh karena itu, mereka mengatakan: tidak boleh tidak, harus memberi dalam bentuk 1 mud gandum atau ½ sha’ bahan makanan pokok. (1 sha’ adalah 3 kg; 1 mud adalah ¼ sha’. Lihar detailnya dalam kamus zakat di www.siwakz.net). Sebagian ulama lainnya mengatakan ½ sha’ dari bahan makanan pokok apapun. (Nailul Authar 4/232).

Apa yang dimaksud dengan ½ sha’?
Apakah ½ sha’ ini ukuran yang dikenal menurut masyarakat setempat ataukah menurut ukuran di zaman Nabi SAW? Jawaban kami adalah: tidak ada seorang pun sepengetahuan kami dari seluruh ulama, yang mengatakan ukuran sha’ adalah menurut masyarakat setempat. Jadi yang benar adalah menurut ukuran sha’ di zaman Nabi SAW.

Sebagian ulama ada yang membolehkan ukuran dengan ukuran sha’ daerah qashim, namun tatkala kami lihat ukurannya, ternyata 1 sha’ daerah qashim lebih banyak dari 1 sha’ zaman Nabi sebanyak 0,25-nya, sebab sha’ kita (Qashim) ternyata 5 mud, sedangkan sha’ nabawy hanya 4 mud.

*** Penerjemah: Abu Muhammad ibn Shadiq dengan beberapa tambahan.

Tinggalkan komentar